Senin, 15 September 2008

MINDSET : GELAR OH GELAR

” Pak andi...pak Andi...” panggil seorang warga kepada tetangganya. meski dipanggil berulang-ulang kali Pak Andi tidak menghiraukan juga panggilan tersebut. Sebenarnya bukannya Pak Andi tidak mendengar panggilan tetangganya tersebut, akan tetapi ada hal yang mengganjal di hati pak Andi. Hingga akhirnya karena tidak tahan, akhirnya pak Andi menanggapi panggilan tersebut dengan nada jengkel ”tolong ya Pak Anto, panggil saya Pak Haji..., Pak Haji Andi...”.

Dalam sebuah pertemuan kecil, seorang tokoh masyarakat diminta untuk memberikan kata sambutan. Dengan suara yang dibuat seberat mungkin untuk menimbulkan kesan berwibawa orang tersebut memulai kata sambutannya dengan cara memperkenalkan diri “Kenalkan nama saya Bapak Prof. Dr. Ir. H. Fulan PhD, MA, Mpd, MBA, MM, HC,... etc”, dilanjutkan dengan penjelasan panjang lebar darimana beliau mendapatkan gelar tersebut dan suka duka yang dialaminya.

Dalam sebuah Majalah Tempo edisi pekan pertama bulan September 2005 diulas sebuah kisah tentang seekor kucing yang mendapatkan gelar doctor honoris causa, sebuah gelar tertinggi yang hanya diberikan pada orang-orang tertentu yang paling tidak sudah sekolah sampai strata III atau studi doktoral. Kisah ini bermula dari keisengan salah seorang teman dari Prof. Eko Budi Harjo yang memberikan nama pada kucingnya dan mendaftarkannya untuk mendapatkan gelar dari salah satu ”sekolah” jarak jauh penyedia gelar palsu. Setelah melengkapi berkas-berkas yang menjadi persyaratannya, tanpa di duga ternyata permohonan tersebut diterima dan kucing ini menjadi kucing petama dan satu-satunya yang mendapat gelar doctor honoris causa

Gelar bagi sebagian besar masyarakat kita dijadikan sebagai indikator martabat dan kehormatan seseorang. Semakin panjang dan semakin banyak maka dianggap seseorang tersebut adalah seorang yang hebat dalam bidang yang sesuai dengan gelar yang digunakannya. Karena dianggap sebagai pengungkit yang memiliki daya dongkrak terhadap strata kehidupan bermasyarakat, berbagai macam carapun ditempuh orang untuk sekedar mendapatkan gelar. Secara normal, gelar tersebut diperoleh dengan cara menyelesaikan pendidikan disebuah lembaga pendidikan formal. Namun saat ini gelarpun dapat diperoleh dengan cara yang lebih mudah, yaitu cukup membayarkan sejumlah uang tertentu, ikut serta dalam sebuah prosesi wisuda-wisudaan, foto bersama dengan menggunakan baju toga, dan gelarpun sudah dapat dicantumkan dalam setiap penulisan nama.

Hal yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah seseorang dengan gelar SE maka secara pasti dia adalah orang yang pakar dalam bidang ekonomi? Seseorang dengan gelar MH adalah seorang master dalam bidang hukum? Selanjutnya apakah seseorang dengan bejibun gelar seperti Prof. Dr. Ir. H. Fulan PhD, MA, Mpd, MBA, MM, HC adalah orang yang dapat kita sebut sebagai Resi Guru yang tahu segala-galanya?

Fakta dimasyarakat menunjukkan bahwa gelar akademik yang selalu dibanggakan orang dalam setiap penulisan dan penyebutan namanya seringkali tidak mewakili kualitas sebenarnya yang ada dalam dirinya. Seseorang yang telah lulus kuliah di Fakultas Ekonomi memiliki ijin dari kampusnya untuk menggunakan tambahan SE (Sarjana Ekonomi) dalam penulisan dan penyebutan namanya, akan tetapi hal tersebut bukan sebuah jaminan bahwa yang bersangkutan adalah orang yang pandai dalam bidang ekonomi. Bisa jadi ilmu ekonomi yang dipelajarinya dikampus hanya nempel ketika menghadapi ujian semester, setelah itu raib entah kemana. Mari kita bandingkan dengan seorang pengusaha yang meski hanya lulusan SD atau SMP namun sangat piawai dalam membangun bisnis dan membaca kondisi ekonomi secara mikro maupun makro. Meski tanpa gelar sebagai seorang sarjana Ekonomi dia memiliki pengetahuan dan keterampilan yang jauh diatas rata-rata orang-orang yang bangga dengan gelar SE-nya.

Ada yang menarik dari video klip lagu Nugie terbaru yang berjudul ”Lentera Hati”. Dalam klip tersebut secara bergantian di tampilkan orang-orang yang membawa sebuah kertas seukuran map yang bertuliskan nama mereka, latar belakang pendidikan, minat sebenarnya, dan pekerjaan. Sebagai contoh pada salah satu permukaan map tertulis ”Nama : Anton, Lulusan Sarjana Ekonomi” ; ketika kertas tersebut dibalik, yang tertulis adalah ”Sekarang kerja di dunia seni dan sangat menyukai bidang design grafis”. Dengan kata lain, jika ditanyakan kepada Anton bidang apa yang sebenarnya paling dikuasainya, maka dia akan mengatakan bahwa dia sangat menguasai design grafis dibandingkan dengan ilmu ekonomi. Jika demikian, bagaimana dengan gelar SE (Sarjana Ekonomi)-nya?

Dalam sebuah sidang pengukuhan seorang guru besar disebuah kampus negeri, seorang ketua senat membacakan seluk beluk penggunaan istilah guru besar maupun profesor. Disebutkan bahwa kata ”Profesor” merupakan gelar yang diberikan untuk jabatan guru besar. Gelar ini adalah gelar akademis yang hanya berlaku di lingkungan kampus dan selama seseorang tersebut masih aktif sebagai pejabat kampus. Apabila orang tersebut tidak lagi bertugas dikampus, maka secara otomatis penggunaan gelar tersebut tidak dibenarkan lagi. bagaimana dengan kenyataan di masyarakat kita?

Seorang motivator maupun pengusaha besar di Jakarta menambahkah di belakang namanya Gelar SDTT sehingga namanya menjadi Andrie Wongso SDTT. Anda mungkin bertanya dari mana gelar SDTT tersebut dan apa kepanjangannya. SDTT bukanlah gelar yang diperoleh dari kuliah di Universitas ataupun sekedar membeli ijazahnya seperti yang masih banyak terjadi dinegara kita. SDTT adalah gelar yang dibuatnya sendiri dan memiliki kepanjangan SDTT : Sekolah Dasar Tidak Tamat. Meski Andrie Wongso Sekolah dasarnya tidak tamat namun beliau termasuk tokoh pengusaha yang sukses dan dikenal sebagai Motivator Nomor satu di Indonesia. Demikian juga dengan penulis buku-buku best seller, Andrias Harefa WTS, WTS adalah gelar yang ditambahkannya sendiri dibelakang namanya sebagai identitas profesi yang dijalankannya, bukannya WTS sebagai Wanita Tuna Susila, tetapi WTS adalah Writer, Trainer, Speaker. Seorang teman pengusaha menambahkan gelar Ph.G dibelakang namanya yang artinya Pengusaha Gila.

Mungkin dalam benak anda bertanya-tanya tentang sah atau tidak sahnya penggunaan gelar seperti diatas. Menurut saya, meski gelar seperti SDTT, WTS, Ph.G, dan MW.M adalah gelar yang tidak umum dan tidak baku, akan tetapi penggunaannya merupakan hal yang sah-sah saja. Hingga saat ini saya belum mendengar peraturan yang yang mengatur tentang penggunaan gelar. Yang ada pada umumnya adalah pemberian gelar sebatas merupakan kesepakatan yang dibuat oleh sekelompok orang, lembaga, ataupun instansi atas seseorang. Sehingga tidak ada salahnya jika seseorang memberikan gelar tertentu untuk dirinya sendiri.

Penggunaan gelar sebagai atribut dalam penulisan dan pengucapan nama seharusnya betul-betul mencerminkan kemampuan atau kualitas yang ada dalam diri seseorang. Karena gelar sendiri mengandung pengertian ”menunjukkan”. Apa jadinya jika yang hendak ditunjukkan tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Ketika seseorang kuliah, seharusnya yang menjadi tujuan utamanya adalah bagaimana menguasai ilmu dan praktek dalam bidang yang telah dipilihnya. Bukannya sekedar untuk memperoleh ijazah dan berbangga dengan menggunakan gelar sebagai bukti sebagai seorang sarjana.

Saran bagi Anda yang ingin menggunakan gelar akademik anda dalam penulisan maupun penyebutan nama, sebaiknya Anda pastikan terlebih dahulu apakah Anda pantas menggunakan gelar itu, atau minimal anda mampu mempertanggung jawabkan setiap konsekuensi dari pencantuman gelar tersebut.

2 komentar:

Bangpay mengatakan...

ada yang cukup dipanggil mas, cak atau bung, saya cukup dipanggil bang saja. mulai dari bos kecil, bos besar, kawan sampai istri saya memanggil dengan sebutan abang. tugas yang berat, karena manjadi abang itu berat sekali...

apalagi haji?? weh!

www.bangpay.org

Unknown mengatakan...

Sy pribadi kdng merasa "diuntungkan", kdng risih jg dgn gelar yg sy sandng sekarang. Kalo d t4 kerja, ya wajar..Tp Entah panggilan "pak Dokter/pak dok" adalah ungkpn penghargaan, ato lainny, sy ga jls jg. Yg pasti guru2, teman sma, montir bengkel jg sering mmanggil itu.
Menurutku sih ga penting!
Ga tau bsk2 gmn.
Memang sjak masih d dunia pendidikan dokter, telah ada krisis nama panggilan. Saat masa "ko-asisten" atau masa kepanitraan, kami suka KESAL bila ada yg memanggil "koas". Padahal secara resmi, para konsulen (dosen yg dokter spesialis) memanggil kami "dokter muda". Kadang kami sk merasa direndahkan bila ada yg memanggil "koo..as" sambil teriak. Memang km blm layak dipanggil "dokter". Yg suka bikin gondok, kalo ada pasien yg bilang, "he koas! Sy mau diperiksa sama dokter!"

Sy jg msh ingat, bgitu ngototnya dosen senior sy bila ada yg mnyebut gelarnya kurang..
Saran sy, bila anda ingin menyebut gelar orng/menulis gelar dlm undangan, sebutlah dgn lengkap. Jangan setengah2.
Atau sekaian sj tdk disebut..