Minggu, 23 Maret 2008

Terlahir Sebagai Jenius

Terlahir Sebagai Jenius

(Dilema antara potensi diri dan sistem pendidikan di Indonesia)

Mengapa di dunia ini ada orang pintar dan ada orang bodoh? Ada yang miskin dan ada yang kaya? Ada orang sukses dan ada orang gagal? Ada yang bermental pemenang dan ada yang bermental pecundang? Pertanyaan seperti ini mungkin pernah hadir di benak Anda. Bahkan mungkin jika lebih dalam lagi Anda akan bertanya “Benarkah Tuhan itu adil?”. Jika memang benar Tuhan adil, kenapa nasib manusia berbeda-beda? Sungguh jika pertanyaannya sampai ke arah situ, kesalahan terbesarnya ada pada diri kita. Kita tidak memiliki hak untuk mempertanyakan hal tersebut. Bicara tentang keadilan Tuhan, itu adalah hal yang mutlak harus diyakini.

Saya sangat percaya ketika diciptakan, setiap manusia diberi bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tien ayat 4). Diberikan potensi yang sama. Diberikan fisik, akal, hati, dan ruh. Sebagai modal untuk menjalani hidup ini. Aa Qym, BJ Habibie, Fadel Muhammad, atau siapa saja dan dimana saja, memiliki peluang dan kesempatan yang sama. Sama-sama menghirup oksigen, sama-sama makan nasi, sama-sama dalam sehari memiliki waktu 24 jam. Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.

Demikian halnya dengan otak manusia. Terlepas apakah Anda adalah seorang ilmuan, pelajar, pedagang, pengusaha, kontraktor, birokrat, ibu rumah tangga, atau supir bentor. Setiap orang memiliki dua belahan otak, yaitu otak kiri dan otak kanan. Kemudian otak tersebut terbagi lagi menjadi tiga bagian yaitu : Neokortex atau otak berpikir untuk fungsi berpikir intelektual, penalaran, perilaku waras, bahasa, dan kecerdasan yang lebih tinggi ; sistem limbik atau otak mamalia berfungsi untuk menyimpan memori, emosi / perasaan, bioritmik, serta sistem kekebalan tubuh ; sedangkan batang atau otak reptil yang berfungsi sebagai motor sensorik, kelangsungan hidup, dan sistem bertahan hidup “ Hadapi atau lari”.

Seseorang menjadi cerdas tidaklah dikarenakan dikepalanya ditambahi suatu komponen atau alat khusus yang mampu meningkatkan kecerdasannya. Secara bahan baku, otak manusia semuanya sama. Penggunaan dan pengasahan potensi otaklah yang menjadikan hasil yang berbeda-beda.

Dalam kehidupan ini, 60 % orang hidup tanpa mengetahui potensi yang dimilikinya. 30 % mengetahui potensi diri namun tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. 7 % lagi adalah orang yang tahu potensi dirinya, mengerti bagaimana cara menggunakannya, namun tidak mampu atau tidak berkeinginan untuk memaksimalkannya. Sisa 3 % adalah orang-orang yang namanya dikenal sepanjang masa, mereka adalah orang-orang yang mengenal betul potensi yang ada dalam diri mereka, mengerti bagaimana cara untuk mendayagunakannya, penuh antusias dalam upaya memaksimalkan potensi tersebut.

Setiap manusia dilahirkan sebagai jenius dan mempunyai kemampuan belajar yang sangat luar biasa. Akan tetapi hal tersebut hanya akan terlaksana jika orang tersebut mau mengelola Potential Quotient (PQ) yang ada dalam dirinya. PQ berbanding lurus dengan Konsep Diri. Semakin baik Konsep Diri seseorang maka semakin besar potensi diri yang dapat ia kembangkan.

Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita dilahirkan. Siapapun Anda dan di sadari atau tidak, ada dua masa kritis yang harus dilewati ketika seseorang di masa kecil. Periode pertama adalah pada usia 0 – 6 tahun. Periode ini sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0 – 3 tahun dan 3 – 6 tahun. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam hidup seorang anak merupakan fondasi yang akan digunakan sebagai landasan untuk mengkonstruksi dirinya pada tiga tahun ke dua. Selanjutnya apa yang telah terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan digunakan sebagai fondasi untuk mengembangkan diri lebih lanjut. Pada masa ini, anak mulai belajar banyak hal, bahkan saat inilah anak memiliki kemampuan belajar yang sangat tinggi. Dengan metode meniru dan “try and error”, dia berusaha mengetahui segala hal yang baru disekitarnya. Permasalahan muncul ketika sang orang tua tidak tahu bagaimana seharusnya menyikapi semangat sang anak tersebut. Kebanyakan orang tua melarang anaknya untuk melakukan ini dan itu. Akhirnya semangat belajar anak mulai dipupuskan.

Sebagai contoh ketika kecil umumnya anak senang meniru apa yang dilakukan oleh orang tua. Ketika dia melihat orang tua atau mungkin kakaknya sedang menulis, dia pun ingin menulis. Akhirnya diapun diberikan pensil / spidol dan kertas. Bagi seorang anak, spidol dan kertas adalah mainan baru. Dengan segala keingintahuan dan kreativitas dia menggerakkan spidol tersebut di atas kertas. Mungkin awalnya menggambar titik, kemudian garis, garis lengkung, bulatan, dan seterusnya. Terkadang juga dia ingin bereksperimen dengan menggerakkan spidolnya diatas media selain kertas, entah itu badannya sendiri, pakaiannya, buku catatan kakaknya, bahkan hingga kesepanjang dinding rumah. Sebagian orang tua melihat kreativitas anak tersebut sebagai bentuk kenakalan. Ketika dia mulai menggambar sesuatu di dinding, orang tua tanpa memberikan penjelasan langsung saja memarahi, membentak, bahkan memukul tangan dan pantat si anak. Di alam bawah sadarnya mulai terbentuk pesan bahwa belajar adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Mempelajari sesuatu adalah pelanggaran berat atas aturan orang tua. Mencoba sesuatu yang baru adalah sebuah penderitaan karena selalu berakhir dengan bentakan, ancaman, dan hukuman fisik dari orang tua.

Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD. Lima tahun pertama hidup anak di SD merupakan masa kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan orangtua dan pendidik. Mengapa lima tahun di SD ini sangat penting?

Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Ketika anak mulai masuk SD, dia akan mengalami sebuah shock berat. Ketika sebelum masuk SD, segala sesuatu begitu indah. Setiap harinya dilalui dengan bernyanyi, menari, atau melakukan apa saja yang dia inginkan. Akan tetapi, ketika dia memasuki SD, segalanya berubah drastis. Saat di kelas dia harus senantiasa duduk manis memperhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran yang belum tentu menyenangkan bagi dia. Belum lagi gurunya sering kali galak dan sama sekali tidak menarik ketika sedang mengajar.

Disamping itu, anak pun mulai dihadapkan dengan sebuah kondisi yang tidak sehat. Mereka mulai diperbandingkan satu sama lain, hingga akhirnya timbullah justifikasi dari sang guru tentang siapa “anak cerdas” dan siapa “anak bodoh”. Sebenarnya justifikasi seperti itu adalah sebuah kesalahan besar. Memvonis seseorang sebagai “anak bodoh” adalah hal yang tidak manusiawi. Setiap anak adalah cerdas. Ketika anak tidak menguasai satu mata pelajaran, itu bukanlah karena anak tersebut bodoh, akan tetapi karena anak itu belum paham saja.

Belum pahamnya anak bisa disebabkan dua hal, yang pertama adalah karena anak tersebut belum memiliki dasar yang kuat terhadap materi yang diberikan dikelas. Ketika sebelum masuk SD, setiap anak di kelas memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang meski sebelum masuk SD telah diajarkan oleh orang tuanya belajar menghitung dan mengeja, ada juga yang sama sekali belum mengenal huruf dan angka. Ketika masuk SD dengan bekal yang berbeda-beda, anak dihadapkan pada persaingan menjadi anak berprestasi. Secara otomatis, anak-anak yang telah lebih dahulu mengenal angka dan cara berhitung akan lebih unggul dibanding anak yang sama sekali baru belajar menghitung. Jika demikian, apakah cukup adil jika seorang guru memberika penilaian anak tersebut “bodoh”.

Kedua adalah bisa jadi anak tidak paham dengan mata pelajaran tersebut karena gurunya tidak dapat menjelaskan dengan baik. Setiap anak memiliki gaya belajar masing-masing. Jika sang guru mengajarkan sesuatu dengan cara yang tidak sesuai dengan gaya belajar anak, transfer ilmu yang dilakukan tidak akan berjalan semestinya. Apalagi di Indonesia, anak SD kelas 1 sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita “harus” bisa mencapai nilai yang bagus. Kalau tidak baik nilainya maka akan dicap anak bodoh, bloon, tolol, goblok, telmi, otak udang, idiot,dan masih banyak istilah “keren” lainnya.

Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang menjadi kunci pembentukan Konsep Diri anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Spanyol. Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa. Mengapa matematika dan bahasa? Di seluruh dunia, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R yaitu Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam bahasa Indonesia adalah 3M yaitu Membaca, Menulis, dan Menghitung.

Saya setuju dengan pentingnya anak menguasi 3M dengan alasan berikut. Pertama, bahasa adalah kunci untuk memahami bahan ajar. Anak yang lemah kemampuan bahasanya akan sangat sulit untuk bisa mempelajari bahan ajar yang disampaikan guru. Mengapa ? Karena semua bahan ajar disampaikan dengan menggunakan bahasa sebagai media atau pengantar. Kedua, matematika sangat penting untuk mengembangkan logika berpikir dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di Singapore, selama 2 tahun pertama anak di SD, mereka hanya diajarkan 3 bidang studi, yaitu bahasa Inggris, Matematika, dan bahasa Ibu (misalnya Mandarin, Melayu, India). Bidang studi lainnya baru diajarkan mulai kelas 3 SD. Hal ini disengaja agar saat anak mempelajari suatu materi, saat mereka kelas 3 SD, mereka telah mempunyai fondasi yang kuat yaitu kemampuan baca, tulis, dan hitung yang baik. Bandingkan dengan apa yang harus dijalani anak-anak kita di Indonesia. Saat kemampuan berbahasa mereka masih belum bagus anak, di Indonesia, telah dituntut untuk mempelajari sangat banyak materi. Ditambah lagi, pada umumnya anak didik kita lemah di Matematika.

Anda mungkin bertanya, ”Mengapa kemampuan bahasa dan matematika yang kurang baik dapat berpengaruh negatif terhadap Konsep Diri seorang anak?”. Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan di propinsi Almeria di Spanyol. Penelitian ini dilakukan terhadap 245 murid SD. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa bidang studi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan matematika.

Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut:

  1. Prestasi akademik menentukan konsep diri

Pengalaman akademik, baik keberhasilan maupun kegagalan, lebih mempengaruhi konsep diri anak, daripada sebaliknya.

  1. Level konsep diri mempengaruhi level keberhasilan akademik
  2. Konsep diri dan prestasi akademik saling mempengaruhi dan saling menentukan
  3. Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi konsep diri dan prestasi akademik

Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di sekolah? Anak, sejak SD kelas 1, telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya? Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat. Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orangtua mulai memberi label ”bodoh” pada anak ini. Yang terjadi selanjutnya adalah proses pemrogramam atau lebih tepatnya ”pembodohan” anak karena Konsep Diri anak buruk.

Lalu bagaimana dengan matematika. Ini setali tiga uang. Proses pembelajaran matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, dan sama sekali tidak fun. Jika ditanya kepada anak “Apa pelajaran yang paling tidak disukai di sekolah?”, rata-rata anak akan mengatakan dengan tegas “ Matemetika!!!”. Kalo begitu apa yang salah dengan matematika?

Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak. Apa maksudnya? Jika kita mengacu pada Piaget (teori perkembangan kognitif) dan Montessori (proses konstruksi diri anak) maka pada usia SD anak harus belajar dengan cara konkrit. Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat dan dipegang anak saat anak belajar simbol matematika. Angka ”1”, ”2”, ”3”, dan seterusnya, ini adalah simbol dan bersifat abstrak. Untuk bisa benar-benar memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, semi abstak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang berbeda.

Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal terutama saat anak duduk di SD kelas 4 dan seterusnya. Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya tidak kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi akademik yang buruk, sekali lagi, sangat berpengaruh terhadap Konsep Diri anak. Persis sama seperti hasil penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan anak tidak bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya.

Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi? Habislah anak tersebut. Nilainya pasti jeblok. Hal ini, kalau terjadi berulang kali (repetisi), ditambah lagi orangtua atau guru mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur yang dipandang memiliki otoritas), ditambah lagi emosi yang intens yang terjadi dalam diri seorang anak, maka langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah sadar yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program negatif, dalam bentuk Konsep Diri yang buruk.

Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk? Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri. Kedua, anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan. Dan yang kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah.

Konsep Diri yang positif sangat penting bagi seorang anak dan juga untuk orang dewasa. Fondasi yang rapuh (Konsep Diri jelek) tidak memungkinkan kita untuk bisa membangun gedung bertingkat (sukses) di atasnya.

Banyak hal yang perlu diketahui orangtua dan pendidik agar dapat membantu anak belajar, antara lain konsep diri, cara kerja pikiran, cara kerja otak, cara kerja memori, motivasi, rentang fokus optimal, gaya belajar, gaya asimilasi, penguasaan materi, manajemen kelas, kepribadian, musik, teknik memori, teknik mencatat, teknik berhitung, dan masih banyak lagi. Kalau sudah begini maka terlihat jelas bahwa proses mengajar dan belajar bukanlah hal yang sederhana.

Tidak ada komentar: